Menguak Nilai-nilai Ilahiyah dalam Trilogi Nusa Putra

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Universitas Nusa Putra (NPU) adalah perguruan tinggi dengan warna berbeda dari kampus lain di Sukabumi. Bukan hanya karena identitas awalnya sebagai Kampus Teknik yang mampu Go International, tetapi karena identitas diri dengan adanya Trilogi Nusa Putra sebagai salah satu wujud untuk mencapai Visi dan Misi Universitas Nusa Putra.

Sejarah Trilogi Nusa Putra sendiri disarikan dari banyak pengalaman hidup, kisah sesama, dan tulisan-tulisan ulama besar.

Cerita dimulai pada sekira tahun 90-an, di mana profesi sebagai seorang guru tidakah menjanjikan, dan dihadapkan pada dua pilihan sulit. Pada satu sisi hidupnya didedikasikan untuk mengabdi, sedangkan pada sisi lain dihadapkan pada imbalan materi yang tidak sebanding dengan pengorbanan.

Walau demikian, Nunung Supratman yang merupakan ayah dari Rektor NPU, yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar, adalah sosok yang peduli terhadap pendidikan, terbukti dengan menyekolahkan semua anak-anaknya hingga jenjang perguruan tingi.

“Saya masih ingat ketika kuliah dulu, sempat mendapat tawaran pekerjaan di luar negeri. Namun bapak saya saat itu meminta saya untuk tetap fokus kuliah. Nasihat bapak, rezeki sudah ada yang mengatur,” tutur Rektor NPU Dr. H. Kurniawan, ST., M.Si., MM.

Namun demikian, kesulitan hidup tidaklah dirasakan oleh Kurniawan bersama dan saudara-saudaranya. Ini adalah berkah, karena sejak dulu, sang ayah mengajarkan Kurniawan dan saudara-saudaranya untuk mencintai sesama dengan cara merawat orang gila, mengangkat anak, hingga melindungi seorang maling dari ancaman tindakan main hakim sendiri.

“Bapak saya dinilai orang baik di lingkungannya. Mungkin karena kebaikannya tersebut yang membuat semuanya terasa lancar,” lanjut Kurniawan.

Dalam sebuah karya seorang ulama terkemuka dari Turki Bediüzzaman Said Nursî bahwa cahaya Illahi itu berada di qalbu, dan qalbu adalah refleksi dari sebuah kasih sayang. Sedangkan dalam kitabnya, Syeikh Abdul Qodir Jailani, dan ummul kitab lainnya, banyak menerangkan tentang Cinta dan Kasih Sayang.

Bahkan Alfatihah sebagai salah satu surat yang disebut sebagai Ummul Qur’an, karena di dalamnya terdapat Bismillah, yaitu kata arrahman dan arrahim yang artinya Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

“Ciri orang beriman adalah mereka yang ketika menyebutkan nama Allah SWT, bergetar hatinya. Nama yang dimaksud itu adalah 99 Asmaul Husna,” tutur Kurniawan lebih jauh.

Rasulullah diturunkan untuk menyempurnakan akhlak manusia, dengan perbedaan dan karakter manusia, maka Allah SWT mengutus nabi dan rasul sebagai suri tauladan. Kemudian diturunkan kepada para sahabat, para alim ulama, ustadz atau guru, kemudian kepada orang tua kita.

Tanpa suri tauladan kita akan sulit memahami AlQuran secara menyeluruh. Manusia diciptakan Allah SWT bebeda-beda. Dari mulai suku, agama, dan rasnya. Maka Allah SWT memerintahkan Rasullulah Muhammad SAW untuk menyempurnakannya. Jadi, dengan kekuasaanNya, Allah SWT Maha Mampu untuk menciptakan manusia dengan satu suku, agama dan ras saja. Namun justru Allah SWT lebih menyukai perbedaan.

Dari hasil renungan, perjalanan hidup, dan dialektika itulah, kemudian bermetamorfois menjadi layaknya kompas penunjuk arah dalam mengarungi kehidupan. Sebuah kompas bernama Trilogi Nusa Putra dengan tiga kutub saling menguatkan, yakni Cinta Kasih Illahiyah, Cinta Kasih Orangtua, dan Cinta Kasih Sesama Manusia.

“Cinta kasih diambil dari kalimat bismillaahir rahmaanir rahiim, Cinta Orang Tua diambil dari ketauladanan Nabi Muhammad SAW yang sampai kepada orang tua kita, dan Cinta Kasih Kepada Sesama diambil dari sebuah hadist yang bebunyi ‘khairunnas anfa’uhum linnas’, yang berarti, sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi manusia lainnya (HR. Thabrani-red).”

Berita