Helen Keller International: Cara Pandang Underestimate Hambat Disabilitas Masuk Kampus

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp

Penggiat pendidikan inklusif dari Helen Keller International (HKI), Emilia Kristiyanti mengatakan secara umum budaya inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas di kampus, saat ini kondisinya sudah lebih baik.

Meskipun pendidikan inklusif di kampus-kampus, terlambat jika dibandingkan di sekolah dasar dan menengah. Namun menurut Emilia, saat ini sudah banyak kampus-kampus yang mulai terbuka dan ramah dengan disabilitas.

“Saya di pendidikan inklusif sejak tahun 2003, saat ini, perkembangannya lebih baik dan semakin baik,” kata Emilia seusai memberikan kuliah umum ‘Membangun budaya inklusif dan ramah terhadap penyandang disabilitas di Perguruan Tinggi’ yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa PGSD, Universitas Nusa Putra (NPU) Sukabumi, Rabu (4/12/2019).

Meskipun demikian, Emilia memandang kampus masih harus diberi banyak masukan-masukan, seperti mengenai aksesibilitas dan bagaimana memberikan layanan yang baik bagi disabilitas.

“Apalagi dengan keluarnya mandat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, bahwa setiap kampus itu diharapkan punya unit layanan disabilitas,” ujar Emilia.

Meski sudah lebih baik, namun Emilia mengungkap, masih ada hal-hal yang menghambat budaya inklusif dan ramah terhadap disabilitas di kampus. Terutama lanjut dia, cara pandang kita yang sering underestimate (meremehkan) dulu atau merasa kasihan yang mungkin keluar dari rasa sayang, tapi sikap seperti itu sebetulnya malah merugikan disabilitas sendiri.

“Selain itu tentu karena masing-masing kampus memiliki kekuatan pendanaan yang berbeda-beda. Jadi aksesibilitas disabilitas di masing-masing kampus berbeda,” kata Emilia.

Menurut Emilia, kalau kampus mau membangun budaya inklusif dan ramah disabilitas, maka harus dilakukan secara pararel, tidak hanya secara top-down tetapi button-up, karena disabilitas bisa berhasil di kampus kalau lingkungannya mendukung.

“Makanya saya katakan pelatihan dosen itu penting, bukan untuk meningkatkan kemampuan mereka, karena rata-rata sudah sangat mampu, tetapi mengubah cara pandang mereka,” ujar Emilia.

Masih kata Emilia, banyak cara berpikir kreatif untuk mengubah cara pandang tentang disabilitas, salah satunya sering mengadakan kuliah-kuliah umum. Tapi yang paling penting keterbukaan, yaitu menerima dulu anak disabilitasnya. Kalau kita sudah menutup diri, lanjut Emilia, kita tidak akan pernah tahu apa yang harus dilakukan.

“Setelah menerima, selanjutnya berpikir dan bekerjasama dengan disabilitas. Mulai dari bertanya, apa kira-kira yang bisa saya bantu?, apa yang bisa kami sediakan agar pendidikan kalian bisa lebih baik?,” terang Emilia.

Disingung soal menteri pendidikan baru, seorang milenial, Emilia cukup optimis pendidikan inklusif akan lebih baik lagi. Dia menilainya dari pidato awal Nadim Makarim sebagai menteri pendidikan, yang mengangkat tentang keberagaman.

“Tetap harus hati-hati, bagaimana memposisikan keberagaman dalam pembangunan masyarakat menuju era 5.0 malah sekarang yah, nah dimana menempatkan disabilitas ini. Tapi saya yakin menteri Nadim bisa mengatasi itu,” ujar dia.

Menutup pembicaraan, Emilia mengatakan dosen dan mahasiswa NPU Sukabumi menarik, mereka, imbuh dia begitu antusias mengikuti materi pendidikan inklusif. “Saya sih berharap mereka generasi muda, kalau cara pandang mereka kepada disabilitas sudah berubah, gelombang perubahan itu bisa menular ke yang lain,” tandasnya.

Berita